Minggu, 06 Juli 2025

 JOURNAL REFLEKSI

DISELEKSIA

 

 

Dosen pengampu:Itsnain Alfajri Husein S.Pd,M.Pd

Di susun oleh:

            Ni nyoman sutri armini  (202361028)

Dewa ayu artini (201361013)

                                                            Kartina  (202361086)

                                                            Nur Tahara (202361099)

                                                            SyarifahSaputri (20236110)

                                                            Risma (202361009)

                                                            Selfi Ardana (202361015)

                                                            Ifan syafari   (202361100)

 

PROGRAM STUDI PENDIDKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA

TAHUN AJARAN 2024/2025



JOURNAL REFLEKSI

DISELEKSIA

A.LATAR BELAKANG

Mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memberikan pemahaman mendalam mengenai berbagai jenis kebutuhan khusus yang mungkin dihadapi peserta didik di sekolah dasar. Salah satu kondisi yang menjadi perhatian adalah disleksia, yaitu gangguan belajar spesifik dalam hal membaca, mengeja, dan menulis. Banyak siswa dengan disleksia yang belum teridentifikasi sejak dini, sehingga mengalami hambatan dalam pembelajaran dan kepercayaan diri.Sebagai calon guru SD, saya menyadari pentingnya memahami karakteristik anak disleksia agar dapat memberikan pendekatan pembelajaran yang sesuai, serta menciptakan suasana belajar yang inklusif dan ramah bagi semua peserta didik.

Di Indonesia, kesadaran akan gangguan disleksia masih tergolong rendah, terutama di tingkat sekolah dasar. Banyak guru dan orang tua yang belum memahami ciri-ciri disleksia, sehingga anak-anak yang mengalaminya sering dianggap malas, tidak fokus, atau tidak mampu belajar. Padahal, dengan intervensi yang tepat dan lingkungan belajar yang mendukung, anak disleksia dapat berkembang dan menunjukkan potensi akademik serta kreativitas yang tinggi. Oleh karena itu, pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengidentifikasi serta menangani anak dengan disleksia menjadi sangat penting.

Dalam konteks pembelajaran di sekolah dasar, guru berperan sebagai pendidik sekaligus fasilitator yang harus mampu menyesuaikan metode mengajar sesuai kebutuhan siswanya. Melalui mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), mahasiswa calon guru dibekali pemahaman mendalam tentang berbagai kebutuhan khusus, termasuk disleksia. Dengan adanya mata kuliah ini, diharapkan guru masa depan tidak hanya memahami secara teori, tetapi juga memiliki empati dan keterampilan praktik untuk menciptakan pembelajaran yang inklusif dan responsif terhadap perbedaan individu dalam proses belajar.

Pentingnya pemahaman tentang disleksia dalam dunia pendidikan tidak dapat diabaikan, terutama bagi guru sekolah dasar yang menjadi pendidik pertama dalam proses formal seorang anak. Anak dengan disleksia seringkali mengalami kesulitan membaca, menulis, atau memahami teks, meskipun mereka memiliki tingkat kecerdasan yang normal bahkan di atas rata-rata. Ketika guru tidak memiliki pemahaman yang cukup, anak-anak ini rentan mendapatkan perlakuan yang kurang adil, seperti dicap bodoh, tidak disiplin, atau pemalas. Stigma ini tidak hanya menghambat perkembangan akademik anak, tetapi juga dapat merusak harga diri dan motivasi belajarnya. Oleh karena itu, melalui mata kuliah ABK, calon guru dibekali dengan pengetahuan untuk mengenali gejala-gejala disleksia secara dini serta strategi pembelajaran yang sesuai, seperti pendekatan multisensori, penggunaan alat bantu visual, dan penyesuaian metode evaluasi. Pembelajaran ini menjadi fondasi penting bagi mahasiswa PGSD untuk menjadi guru yang inklusif, adil, dan mampu mengakomodasi berbagai perbedaan gaya belajar siswa di dalam kelas.

 

B.ISI REFLEKSI

Setelah mengikuti pembelajaran tentang disleksia dalam mata kuliah ABK, saya mendapat banyak pengetahuan baru mengenai karakteristik anak dengan disleksia. Mereka bukan anak yang malas atau tidak cerdas, melainkan memiliki hambatan dalam mengolah simbol-simbol bahasa, terutama saat membaca dan menulis. Hal ini membuka mata saya bahwa sebagai guru, saya tidak boleh menilai kemampuan siswa hanya berdasarkan hasil tes tertulis.

Materi yang disampaikan dosen, seperti video pembelajaran dan studi kasus, membuat saya lebih memahami bagaimana bentuk dukungan yang bisa diberikan guru kepada siswa disleksia. Misalnya dengan penggunaan font khusus (seperti OpenDyslexic), penyampaian materi secara visual dan verbal, serta pemberian waktu tambahan saat ujian.

Saya juga menyadari pentingnya membangun komunikasi yang baik antara guru, orang tua, dan tenaga ahli (seperti psikolog atau terapis wicara) untuk mendukung perkembangan anak. Yang paling menyentuh bagi saya adalah pemahaman bahwa keberhasilan seorang anak disleksia sangat bergantung pada penerimaan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya, terutama guru.

Melalui pembelajaran di mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus, saya menyadari bahwa disleksia bukan hanya soal anak yang “tidak bisa membaca”, tetapi merupakan kondisi neurologis yang memengaruhi cara otak memproses bahasa. Saya terkejut saat mengetahui bahwa banyak anak dengan disleksia justru memiliki kecerdasan yang tinggi dan mampu unggul dalam bidang tertentu seperti seni, musik, atau berpikir visual. Namun karena hambatan membaca, mereka sering kali terpinggirkan dalam sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada kemampuan literasi konvensional. Saya juga merefleksikan bahwa sistem pendidikan kita masih belum sepenuhnya ramah terhadap siswa dengan gangguan belajar seperti disleksia. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi saya sebagai calon guru SD, karena saya tidak ingin ada anak yang merasa gagal hanya karena metode belajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Selain itu, saya mulai memahami pentingnya empati dalam menghadapi siswa dengan disleksia. Mereka mungkin membutuhkan waktu lebih lama dalam memahami instruksi tertulis atau mengerjakan tugas membaca, tetapi bukan berarti mereka tidak mampu. Saya merasa bahwa sebagai guru, saya harus lebih fleksibel dan tidak menyamaratakan cara belajar siswa. Dalam diskusi kelas, saya belajar bahwa guru bisa memberikan modifikasi seperti memperbolehkan siswa menjawab secara lisan, menggunakan font yang lebih mudah dibaca, atau memberikan waktu tambahan saat ujian. Saya membayangkan bila saya menjadi guru yang peka terhadap kebutuhan seperti itu, saya bisa menjadi perantara yang membantu anak-anak dengan disleksia mencapai potensi terbaiknya. Pengalaman ini membuat saya semakin yakin bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menyesuaikan diri dengan keberagaman anak didik, bukan memaksa anak untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang kaku.

 

C.REFLEKSI PRIBADI

Pembelajaran tentang disleksia dalam mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memberikan pengalaman yang sangat bermakna bagi saya. Sebelum mempelajari topik ini, saya mengira bahwa gangguan belajar seperti disleksia hanya berkaitan dengan kesulitan membaca biasa. Namun setelah mendalami materi, saya menyadari bahwa disleksia adalah kondisi yang kompleks dan memerlukan pendekatan khusus dalam pembelajaran. Kesadaran ini membuat saya melihat peran guru bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang memahami kebutuhan dan perbedaan tiap peserta didik.

Saya merasa tergugah ketika mengetahui bahwa banyak anak dengan disleksia yang sebenarnya memiliki kecerdasan normal bahkan di atas rata-rata, tetapi sering kali mengalami kegagalan dan kehilangan kepercayaan diri karena tidak mendapatkan dukungan yang sesuai. Refleksi ini membuat saya berpikir ulang tentang cara saya harus memperlakukan siswa di kelas nanti. Saya tidak ingin menjadi guru yang menilai siswa hanya dari angka atau kemampuan membaca cepat, tetapi ingin menjadi guru yang menghargai proses belajar setiap anak dengan segala keunikannya.

Sebagai calon guru, saya sadar bahwa dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan teoritis untuk dapat membantu siswa dengan disleksia. Saya harus memiliki empati, kesabaran, dan kreativitas dalam menyusun metode pembelajaran yang dapat menjangkau semua anak, termasuk mereka yang memiliki hambatan belajar. Refleksi ini juga memotivasi saya untuk terus belajar dan mengembangkan diri, agar kelak saya dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, di mana semua anak merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk berkembang.

Saya merasa bahwa mata kuliah ABK bukan hanya memberi saya pemahaman tentang berbagai jenis kebutuhan khusus, tetapi juga mengubah cara pandang saya terhadap pendidikan secara menyeluruh. Saya belajar bahwa keberagaman bukan hambatan, melainkan kekayaan yang harus disambut dengan hati terbuka. Dengan bekal pemahaman tentang disleksia ini, saya semakin yakin untuk menjadi guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga hadir sebagai pendamping dan penguat bagi setiap anak, termasuk mereka yang mungkin tidak terlihat oleh sistem, tetapi memiliki potensi besar jika diberikan ruang dan kesempatan yang tepat.

 

D.TANTANGAN DAN SOLUSI

Salah satu tantangan utama yang saya temukan dalam memahami dan menangani anak dengan disleksia adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran di kalangan guru, termasuk guru SD. Banyak guru yang belum memahami karakteristik disleksia secara menyeluruh, sehingga cenderung menganggap siswa yang lambat membaca atau menulis sebagai malas atau tidak cerdas. Hal ini diperparah dengan sistem pembelajaran di sekolah dasar yang masih sangat menekankan pada kemampuan literasi standar, tanpa memberikan ruang bagi siswa dengan gaya belajar berbeda. Tantangan ini menciptakan lingkungan belajar yang kurang mendukung bagi anak dengan disleksia, yang pada akhirnya memengaruhi rasa percaya diri dan motivasi mereka.

Selain itu, tantangan lainnya terletak pada keterbatasan fasilitas dan media pembelajaran yang ramah disleksia di sekolah dasar. Banyak sekolah, khususnya di daerah, belum menyediakan alat bantu atau materi ajar yang bisa digunakan untuk membantu siswa dengan gangguan belajar seperti disleksia. Guru pun sering menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya dalam melakukan modifikasi pembelajaran secara individual. Tidak adanya pelatihan khusus bagi guru dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus juga menjadi hambatan serius dalam menciptakan pembelajaran yang inklusif dan efektif.

Sebagai solusi, penting bagi guru untuk aktif meningkatkan kompetensi secara mandiri melalui pelatihan, webinar, atau membaca sumber-sumber terpercaya terkait strategi pembelajaran bagi anak disleksia. Sekolah juga perlu didorong untuk menyediakan media pembelajaran alternatif seperti huruf cetak besar, font ramah disleksia, dan alat bantu visual. Selain itu, guru dapat memanfaatkan pendekatan pembelajaran multisensori dan diferensiasi instruksi di kelas agar semua siswa bisa mengikuti pelajaran dengan optimal. Dukungan dari orang tua dan kolaborasi dengan psikolog atau tenaga ahli juga menjadi solusi penting dalam menangani siswa disleksia secara holistik. Dengan kerja sama yang baik antara guru, orang tua, dan sekolah, tantangan dalam pembelajaran anak disleksia dapat diatasi secara bertahap dan berkelanjutan.

 

E.VISUALISASI/ VIDEO

https://drive.google.com/file/d/1Ka-IViFFmBNY8xlemuPJd7KB6YYqXg_h/view?usp=sharing

 

F.PENUTUP

Melalui mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), saya memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai disleksia sebagai salah satu bentuk gangguan belajar yang sering tidak terdeteksi di jenjang sekolah dasar. Saya menyadari bahwa peran guru sangat penting dalam mengidentifikasi, memahami, dan mendampingi anak dengan disleksia agar mereka tetap dapat belajar secara optimal dan merasa dihargai. Ilmu yang saya peroleh dari perkuliahan ini memberikan pandangan baru tentang bagaimana sistem pendidikan seharusnya dibangun atas dasar empati, penerimaan, dan penyesuaian terhadap perbedaan.

Refleksi ini memberikan dampak besar dalam cara pandang saya sebagai calon pendidik. Saya menyadari bahwa setiap anak memiliki cara belajar yang unik, dan tugas guru bukan hanya mengajar secara seragam, tetapi mampu menyesuaikan metode pembelajaran agar inklusif bagi semua siswa, termasuk yang mengalami kesulitan seperti disleksia. Saya ingin menjadi guru yang tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga menghargai proses belajar yang dilalui siswa dengan segala tantangannya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menjangkau setiap anak secara adil dan bermakna.

Sebagai penutup, saya berkomitmen untuk terus mengembangkan diri dan mencari strategi pembelajaran yang tepat untuk mendukung anak dengan disleksia. Saya percaya bahwa pendidikan yang inklusif bukan sekadar wacana, tetapi dapat diwujudkan melalui perubahan cara pandang, sikap, dan praktik mengajar di dalam kelas. Dengan bekal pemahaman dari mata kuliah ABK dan refleksi pribadi ini, saya siap menjadi bagian dari solusi untuk mewujudkan lingkungan belajar yang ramah, adil, dan menghargai keberagaman setiap anak.

 

G. RENCANA TINDAK LANJUT

Sebagai bentuk tindak lanjut, saya bertekad untuk lebih banyak membaca literatur dan mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran bagi anak disleksia. Saya juga ingin membuat media pembelajaran sederhana yang dapat membantu mereka memahami materi dengan lebih baik, seperti penggunaan kartu gambar, peta konsep, dan permainan edukatif.

Ketika kelak saya berada di ruang kelas, saya akan berusaha tidak terburu-buru menilai siswa hanya dari aspek akademik, tetapi melihat proses dan usaha mereka. Saya juga akan membangun suasana kelas yang menghargai perbedaan, di mana semua siswa merasa diterima dan dihargai.

 

Selain itu, saya berencana membuat catatan perkembangan individual untuk setiap siswa, khususnya bagi siswa yang menunjukkan gejala disleksia, agar dapat memberikan perhatian dan intervensi lebih awal.

Sebagai tindak lanjut dari pemahaman yang saya peroleh mengenai disleksia, saya berkomitmen untuk terus memperdalam pengetahuan saya melalui berbagai sumber seperti buku, jurnal ilmiah, pelatihan, serta webinar yang membahas strategi pembelajaran untuk anak dengan gangguan belajar. Saya menyadari bahwa pengetahuan teoritis saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi dengan keterampilan praktis di lapangan. Oleh karena itu, saya berencana untuk aktif mencari kesempatan praktik mengajar atau observasi langsung di sekolah inklusif yang memiliki siswa dengan disleksia. Dengan cara ini, saya dapat melihat langsung bagaimana guru berinteraksi, memberikan instruksi, serta membuat penyesuaian pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, saya ingin mulai belajar membuat media pembelajaran visual dan multisensori yang sederhana namun efektif, agar bisa langsung saya gunakan saat praktik mengajar nanti.

Saya juga bertekad untuk mengembangkan sikap profesional dan empati yang tinggi terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, termasuk anak disleksia. Dalam kegiatan belajar mengajar, saya akan berusaha untuk tidak hanya fokus pada hasil akademik, tetapi juga memperhatikan proses dan perkembangan setiap anak secara individual. Saya ingin membangun komunikasi yang baik dengan orang tua dan sesama guru untuk saling berbagi informasi dan strategi terbaik dalam menangani anak dengan disleksia. Jika memungkinkan, saya akan mengusulkan program pembinaan atau diskusi kelompok kecil di sekolah dasar tempat saya mengajar kelak, sebagai wadah berbagi pengalaman dan meningkatkan pemahaman guru-guru lain tentang gangguan belajar. Saya percaya bahwa dengan langkah-langkah kecil namun konsisten, saya dapat menjadi bagian dari perubahan positif dalam menciptakan sistem pendidikan dasar yang inklusif dan menghargai keberagaman kemampuan belajar setiap anak.

 

H.DAFTAR PUSTAKA

Shaywitz, S. E. (2020). Overcoming Dyslexia (2nd ed.). New York: Vintage Books.

Nugroho, T. A. (2021). Strategi Pembelajaran Bagi Anak Disleksia di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Inklusif, 9(2), 34–45.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. (2019). Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Rief, S. F., & Heimburge, J. A. (2014). How to Reach and Teach Children with ADD/ADHD: Practical Techniques, Strategies, and Interventions. Jossey-Bass.

Pambudi, A., & Nuraini, L. (2020). Upaya Guru dalam Menangani Siswa Disleksia di Sekolah Dasar Inklusif. Jurnal Pendidikan Khusus, 16(1), 22–30.

Lyon, G. R., Shaywitz, S. E., & Shaywitz, B. A. (2003). A Definition of Dyslexia. Annals of Dyslexia, 53, 1–14.

Susanto, A., & Meilani, R. (2018). Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar: Konsep dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group.

Minggu, 15 Juni 2025

 JURNAL REFLEKSI

 

KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ABK

(Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna daksa dan Lainnya)

 


                                     
Mata Kuliah: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Dosen Pengampu: Itsnain Alfajri Husain S.Pd.,M.Pd

 

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 

1. Selfi Ardana (202361015)

                                                     2. Dewa Ayu Artini (20361013)

                                                     3. Ni Nyoman Sutri Armini (202361028)

                                                     4. Kartina (202361086)

                                                     5. Risma (202361009)

                                                     6. Nur Tahara (202361099)

                                                     7. Syarifah Saputri (2023610109)

                                                     8. Ifan Syafari (2023610100)

                

                        PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

                                FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN 

                               UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA KENDARI 

                                                       TAHUN AJARAN 2025




JURNAL REFLEKSI 

 KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ABK

(Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna Daksa, dan Lainnya)

 

 

A. Latar Belakang 

     Pendidikan adalah hak setiap anak tanpa terkecuali, termasuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam konteks pendidikan inklusif, semua peserta didik, baik yang memiliki kemampuan normal maupun yang memiliki hambatan tertentu, harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang dalam proses tumbuh kembangnya memerlukan layanan pendidikan khusus karena mengalami hambatan fisik, mental, emosional, sosial, atau intelektual. Oleh karena itu, seorang pendidik perlu memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai klasifikasi dan karakteristik ABK agar mampu menciptakan strategi pembelajaran yang efektif, adil, dan ramah bagi semua siswa.

       Materi mengenai klasifikasi dan karakteristik ABK menjadi bagian penting dalam membentuk kesadaran profesional calon guru. Melalui pembelajaran ini, saya sebagai mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) semester 4 mulai memahami betapa pentingnya mengenali jenis-jenis kebutuhan khusus, seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, anak dengan gangguan perkembangan (autisme, ADHD), gangguan emosi dan perilaku, hingga anak dengan kecerdasan atau bakat luar biasa. Setiap jenis kebutuhan khusus memiliki karakteristik unik yang menuntut pendekatan pembelajaran yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan ini bukan hanya menjadi bekal teoritis, melainkan juga landasan dalam membangun sikap empati, inklusif, serta keterampilan dalam mengelola kelas yang heterogen.

     Penting juga untuk dipahami bahwa pendidikan inklusif bukan hanya sebuah kebijakan, tetapi juga sebuah sikap dan nilai yang harus ditanamkan dalam diri setiap guru. Pendidikan yang tidak memandang keterbatasan fisik maupun mental seseorang akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di sekolah harus menjadi agen perubahan yang dapat membangun iklim belajar yang kondusif bagi seluruh siswa, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, pembekalan terhadap klasifikasi dan karakteristik ABK menjadi langkah awal untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian akan pentingnya pendidikan yang merangkul semua kalangan.

        Sebagai calon guru sekolah dasar, saya merasa bahwa pembelajaran tentang ABK ini membuka cakrawala berpikir saya mengenai keberagaman peserta didik. Tidak semua anak bisa belajar dengan cara yang sama, dan tidak semua anak mampu menunjukkan potensi dengan metode konvensional. Hal ini membuat saya mulai memahami pentingnya inovasi dalam pendekatan pengajaran serta membangun rasa percaya diri untuk melayani siswa dengan berbagai latar belakang kebutuhan. Kesadaran ini akan membantu saya dalam merancang pembelajaran yang lebih beragam, fleksibel, dan berorientasi pada kebutuhan nyata di lapangan.

     Selain itu, pemahaman terhadap klasifikasi dan karakteristik ABK tidak hanya berguna bagi saya secara akademik, tetapi juga secara moral dan sosial. Di tengah masyarakat yang masih memandang sebelah mata terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, guru memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menghargai perbedaan. Oleh karena itu, pengetahuan ini harus menjadi bagian dari integritas seorang guru dalam memperjuangkan hak setiap anak untuk belajar, berkembang, dan dihargai sebagai individu yang unik.

 

B. Isi Refleksi

1. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak Berkebutuhan Khusus dikelompokkan berdasarkan jenis kebutuhan dan gangguan yang mereka miliki. Berikut klasifikasinya:

● Tunanetra: Anak yang mengalami gangguan penglihatan, baik sebagian (low vision) maupun total (buta). Mereka membutuhkan alat bantu seperti huruf Braille dan audio book.

● Tunarungu: Anak yang mengalami gangguan pendengaran sehingga mengalami kesulitan dalam komunikasi verbal. Mereka sering membutuhkan alat bantu dengar atau bahasa isyarat.

● Tunadaksa: Anak yang mengalami hambatan dalam fungsi gerak tubuh, seperti lumpuh, kelainan bentuk tubuh, atau kehilangan anggota tubuh.

● Tuna grahita: Anak yang memiliki keterbatasan intelektual atau tingkat kecerdasan di bawah rata-rata.

● Autis: Anak yang memiliki gangguan dalam komunikasi sosial, perilaku berulang, dan kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

● Anak dengan gangguan emosional dan perilaku: Memiliki kesulitan dalam mengendalikan emosi, sering menunjukkan perilaku agresif atau menarik diri.

● Anak berbakat (gifted): Anak dengan kecerdasan atau bakat luar biasa di atas rata-rata yang juga memerlukan pendekatan khusus.

 

2. Klasifikasi ABK

Setiap klasifikasi ABK memiliki ciri khas tertentu yang perlu dipahami oleh pendidik. Misalnya:

● Tunanetra cenderung lebih peka terhadap suara dan sentuhan. Mereka belajar secara auditif dan taktil.

● Tunarungu memiliki tantangan dalam mengembangkan keterampilan bahasa dan bicara, namun memiliki kemampuan visual yang baik.

● Tunadaksa mungkin memerlukan bantuan fisik untuk beraktivitas di kelas dan sering merasa rendah diri karena keterbatasannya.

● Anak autis memiliki rutinitas yang harus teratur dan sangat sensitif terhadap perubahan.

● Anak tunagrahita memerlukan pembelajaran berulang dengan pendekatan yang sangat sederhana dan konkret.

       Pemahaman karakteristik ini membantu saya untuk menyesuaikan pendekatan pembelajaran, seperti menggunakan media visual untuk tunarungu, atau membuat ruang kelas yang aman dan ramah bagi tunadaksa.

3. Refleksi Pribadi

       Melalui pembelajaran ini, saya menjadi lebih terbuka dan sadar bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermakna. Sebelumnya, saya menganggap mengajar hanya soal menyampaikan materi, namun sekarang saya menyadari bahwa mengajar adalah soal memahami kebutuhan setiap individu dan menciptakan ruang inklusi.

         Pengalaman belajar ini membentuk empati saya sebagai calon guru. Saya belajar untuk lebih sabar, teliti, dan menghargai perbedaan. Ketika saya memahami karakteristik anak-anak berkebutuhan khusus, saya menyadari bahwa mereka bukan anak-anak yang "bermasalah", tetapi anak-anak yang hanya butuh cara belajar yang berbeda.

      Saya juga belajar bahwa sebagai calon guru, saya harus mampu merancang pembelajaran yang fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan siswa. Tidak semua anak dapat belajar dengan cara dan tempo yang sama, sehingga dibutuhkan strategi pembelajaran diferensiasi, penggunaan media yang bervariasi, serta penilaian yang bersifat individual. Hal ini membuka wawasan saya bahwa seorang guru harus terus kreatif dan inovatif agar mampu mengakomodasi setiap kondisi siswa tanpa mengurangi kualitas pembelajaran.

     Selain dari aspek akademik, saya memahami bahwa pembentukan karakter dan lingkungan sosial yang positif bagi ABK sangat penting. Guru berperan sebagai agen perubahan yang mampu menciptakan ruang aman bagi semua anak untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, kami semakin termotivasi untuk terus belajar, baik melalui literatur, pelatihan, maupun pengalaman langsung di lapangan agar bisa menjadi guru yang inklusif dan berdaya saing dalam dunia pendidikan yang terus berkembang.

     Selain itu, saya juga menyadari pentingnya kerja sama antara guru, orang tua, dan tenaga profesional seperti psikolog atau terapis dalam menangani ABK. Tidak semua guru mampu bekerja sendiri dalam mengatasi hambatan belajar siswa berkebutuhan khusus, maka kolaborasi menjadi kunci utama. Ketika semua pihak menyadari perannya dan bekerja bersama, maka lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung akan lebih mudah diwujudkan. Pengalaman reflektif ini membentuk sudut pandang baru dalam diri saya, bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajar, tetapi juga mendidik dengan empati, kesabaran, dan komitmen untuk melayani semua anak secara utuh.


 D.   Tantangan dan Solusi

      Tantangan terbesar dalam pembelajaran ABK adalah keterbatasan fasilitas, kurangnya pelatihan guru, dan stigma dari masyarakat. Namun, solusi dari hal ini adalah dengan meningkatkan pelatihan pendidikan inklusif, memperluas kampanye kesadaran publik, serta mengembangkan media dan teknologi pendukung pembelajaran ABK.

     Salah satu tantangan yang saya refleksikan adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru dalam menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus. Banyak guru di sekolah reguler belum mendapatkan pelatihan khusus dalam bidang pendidikan inklusif, sehingga masih banyak yang merasa kesulitan saat menghadapi ABK di kelas. Hal ini berdampak pada strategi pembelajaran yang tidak tepat, komunikasi yang kurang efektif, hingga potensi ketidakadilan dalam penilaian hasil belajar. Oleh karena itu, solusi yang bisa dilakukan adalah menyediakan pelatihan rutin bagi guru serta menghadirkan tenaga ahli sebagai pendamping di sekolah.

      Selain itu, kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk orang tua dan teman sebaya, menjadi tantangan tersendiri bagi anak ABK untuk berkembang secara optimal. Tidak jarang mereka mengalami diskriminasi atau dijauhkan dari kegiatan sosial di sekolah. Untuk mengatasi hal ini, penting dilakukan edukasi inklusif secara menyeluruh, tidak hanya kepada guru, tetapi juga kepada siswa dan orang tua. Sekolah bisa mengadakan kegiatan kampanye anti-diskriminasi dan pelatihan empati yang bertujuan membentuk budaya sekolah yang inklusif dan menghargai perbedaan.


 E.   Visualisasi/Gambar

Berikut adalah gambar klasifikasi ABK untuk mendukung pemahaman:


 Keterangan: Visualisasi jenis-jenis ABK dan karakteristik umumnya.

 

  F.    Penutup

      Pembelajaran mengenai klasifikasi dan karakteristik ABK menjadi momen penting dalam membentuk paradigma baru saya sebagai calon pendidik. Saya belajar bahwa keadilan dalam pendidikan bukan berarti memberikan hal yang sama kepada semua anak, tetapi memberikan apa yang mereka butuhkan agar bisa tumbuh dan belajar secara optimal.

     Saya berharap, pengalaman ini akan terus menginspirasi saya dalam perjalanan menjadi guru yang inklusif dan adaptif. Sebab, setiap anak, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, berhak mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Saya pun akan terus memperdalam pemahaman saya mengenai strategi pembelajaran untuk ABK agar dapat memberikan layanan pendidikan yang terbaik.

       Karakteristik dari masing-masing jenis ABK menunjukkan bahwa keterbatasan fisik atau sensorik tidak menjadi penghalang bagi anak-anak untuk berkembang. Sebaliknya, dengan dukungan yang sesuai, mereka dapat menunjukkan potensi dan kompetensi yang luar biasa. Guru dan tenaga pendidik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi keberagaman ini, agar proses belajar tidak hanya berjalan efektif tetapi juga penuh empati dan inklusivitas.

     Dengan demikian, penting bagi semua pihak—baik pendidik, orang tua, maupun masyarakat—untuk terus mengembangkan pemahaman dan sikap positif terhadap ABK. Pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu, melainkan juga membangun ruang yang aman dan suportif bagi semua anak, tanpa terkecuali. Diharapkan jurnal ini dapat menjadi salah satu sumber awal yang menggugah kepedulian dan menjadi pijakan dalam merancang sistem pendidikan yang lebih ramah dan responsif terhadap kebutuhan setiap individu.

 G.   Rencana Tindak Lanjut

     Sebagai calon guru sekolah dasar, saya menyadari bahwa pembelajaran mengenai klasifikasi dan karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bukan hanya penting dipahami secara teori, tetapi juga harus dipraktikkan dalam kegiatan nyata di kelas. Oleh karena itu, tindak lanjut pertama yang akan saya lakukan adalah memperdalam pengetahuan tentang pendidikan inklusif dengan membaca buku referensi, mengikuti webinar, dan mencari jurnal ilmiah terbaru tentang strategi pembelajaran untuk ABK. Dengan cara ini, saya bisa terus mengasah pemahaman saya dan mempersiapkan diri menghadapi keragaman peserta didik di masa depan.

     Tindak lanjut kedua yang akan saya lakukan adalah berlatih menyusun perangkat pembelajaran yang bersifat inklusif. Saya akan mencoba membuat RPP dan media pembelajaran sederhana yang bisa diakses oleh anak-anak dengan berbagai kebutuhan, seperti menggunakan huruf besar dan kontras warna untuk tuna netra ringan, gambar visual yang jelas untuk tuna rungu, serta media konkret untuk anak dengan hambatan intelektual. Selain itu, saya juga akan mencari kesempatan untuk praktik langsung, misalnya melalui program observasi atau magang di sekolah inklusi, agar bisa menyaksikan langsung bagaimana guru berinteraksi dan mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus.

    Terakhir, saya akan mulai membangun sikap positif dalam diri saya terhadap keberagaman siswa di kelas. Saya ingin membentuk kebiasaan untuk tidak cepat menghakimi atau menyepelekan kemampuan anak hanya karena mereka berbeda. Saya ingin menjadi guru yang sabar, empatik, dan inklusif, yang mampu memberi semangat dan motivasi kepada semua anak untuk terus berkembang. Dengan menerapkan rencana tindak lanjut ini secara konsisten, saya berharap bisa menjadi pendidik yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial dalam mewujudkan pendidikan yang adil bagi semua.

 H.   Daftar Pustaka

Sunardi, Nurani, Y., & Yusuf, M. (2019).

Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif. Bandung: Refika Aditama.

 

Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2022).

○ Exceptional Learners: An Introduction to Special Education. Pearson Education.

 

Yani, A. (2021). Strategi Pembelajaran untuk

○ Anak Berkebutuhan Khusus. Surabaya: Unesa Press.

 

UNESCO. (2020). Inclusive Education

○ and Children with Disabilities. https://unesco.org

 

Hadi, S. (2021). Peran Guru dalam Menyukseskan

○ Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Khusus, 17(2), 134–142. https://doi.org/10.21831/jpk.v17i2.45678

 

Rahmawati, L., & Kurniawan, A. (2020).

○ Pendekatan Pembelajaran Berdiferensiasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 6(1), 55–63.

 

Puspitasari, D., & Marzuki, A. (2019).

○ Strategi Adaptif Guru dalam Mengelola Kelas Inklusif. Jurnal Inklusi Pendidikan, 4(3), 78–86.

Senin, 30 September 2024

  JOURNAL REFLEKSI DISELEKSIA     Dosen pengampu:Itsnain Alfajri Husein S.Pd,M.Pd Di susun oleh:                Ni nyoman sutri armini   (20...