Minggu, 06 Juli 2025

 JOURNAL REFLEKSI

DISELEKSIA

 

 

Dosen pengampu:Itsnain Alfajri Husein S.Pd,M.Pd

Di susun oleh:

            Ni nyoman sutri armini  (202361028)

Dewa ayu artini (201361013)

                                                            Kartina  (202361086)

                                                            Nur Tahara (202361099)

                                                            SyarifahSaputri (20236110)

                                                            Risma (202361009)

                                                            Selfi Ardana (202361015)

                                                            Ifan syafari   (202361100)

 

PROGRAM STUDI PENDIDKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA

TAHUN AJARAN 2024/2025



JOURNAL REFLEKSI

DISELEKSIA

A.LATAR BELAKANG

Mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memberikan pemahaman mendalam mengenai berbagai jenis kebutuhan khusus yang mungkin dihadapi peserta didik di sekolah dasar. Salah satu kondisi yang menjadi perhatian adalah disleksia, yaitu gangguan belajar spesifik dalam hal membaca, mengeja, dan menulis. Banyak siswa dengan disleksia yang belum teridentifikasi sejak dini, sehingga mengalami hambatan dalam pembelajaran dan kepercayaan diri.Sebagai calon guru SD, saya menyadari pentingnya memahami karakteristik anak disleksia agar dapat memberikan pendekatan pembelajaran yang sesuai, serta menciptakan suasana belajar yang inklusif dan ramah bagi semua peserta didik.

Di Indonesia, kesadaran akan gangguan disleksia masih tergolong rendah, terutama di tingkat sekolah dasar. Banyak guru dan orang tua yang belum memahami ciri-ciri disleksia, sehingga anak-anak yang mengalaminya sering dianggap malas, tidak fokus, atau tidak mampu belajar. Padahal, dengan intervensi yang tepat dan lingkungan belajar yang mendukung, anak disleksia dapat berkembang dan menunjukkan potensi akademik serta kreativitas yang tinggi. Oleh karena itu, pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengidentifikasi serta menangani anak dengan disleksia menjadi sangat penting.

Dalam konteks pembelajaran di sekolah dasar, guru berperan sebagai pendidik sekaligus fasilitator yang harus mampu menyesuaikan metode mengajar sesuai kebutuhan siswanya. Melalui mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), mahasiswa calon guru dibekali pemahaman mendalam tentang berbagai kebutuhan khusus, termasuk disleksia. Dengan adanya mata kuliah ini, diharapkan guru masa depan tidak hanya memahami secara teori, tetapi juga memiliki empati dan keterampilan praktik untuk menciptakan pembelajaran yang inklusif dan responsif terhadap perbedaan individu dalam proses belajar.

Pentingnya pemahaman tentang disleksia dalam dunia pendidikan tidak dapat diabaikan, terutama bagi guru sekolah dasar yang menjadi pendidik pertama dalam proses formal seorang anak. Anak dengan disleksia seringkali mengalami kesulitan membaca, menulis, atau memahami teks, meskipun mereka memiliki tingkat kecerdasan yang normal bahkan di atas rata-rata. Ketika guru tidak memiliki pemahaman yang cukup, anak-anak ini rentan mendapatkan perlakuan yang kurang adil, seperti dicap bodoh, tidak disiplin, atau pemalas. Stigma ini tidak hanya menghambat perkembangan akademik anak, tetapi juga dapat merusak harga diri dan motivasi belajarnya. Oleh karena itu, melalui mata kuliah ABK, calon guru dibekali dengan pengetahuan untuk mengenali gejala-gejala disleksia secara dini serta strategi pembelajaran yang sesuai, seperti pendekatan multisensori, penggunaan alat bantu visual, dan penyesuaian metode evaluasi. Pembelajaran ini menjadi fondasi penting bagi mahasiswa PGSD untuk menjadi guru yang inklusif, adil, dan mampu mengakomodasi berbagai perbedaan gaya belajar siswa di dalam kelas.

 

B.ISI REFLEKSI

Setelah mengikuti pembelajaran tentang disleksia dalam mata kuliah ABK, saya mendapat banyak pengetahuan baru mengenai karakteristik anak dengan disleksia. Mereka bukan anak yang malas atau tidak cerdas, melainkan memiliki hambatan dalam mengolah simbol-simbol bahasa, terutama saat membaca dan menulis. Hal ini membuka mata saya bahwa sebagai guru, saya tidak boleh menilai kemampuan siswa hanya berdasarkan hasil tes tertulis.

Materi yang disampaikan dosen, seperti video pembelajaran dan studi kasus, membuat saya lebih memahami bagaimana bentuk dukungan yang bisa diberikan guru kepada siswa disleksia. Misalnya dengan penggunaan font khusus (seperti OpenDyslexic), penyampaian materi secara visual dan verbal, serta pemberian waktu tambahan saat ujian.

Saya juga menyadari pentingnya membangun komunikasi yang baik antara guru, orang tua, dan tenaga ahli (seperti psikolog atau terapis wicara) untuk mendukung perkembangan anak. Yang paling menyentuh bagi saya adalah pemahaman bahwa keberhasilan seorang anak disleksia sangat bergantung pada penerimaan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya, terutama guru.

Melalui pembelajaran di mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus, saya menyadari bahwa disleksia bukan hanya soal anak yang “tidak bisa membaca”, tetapi merupakan kondisi neurologis yang memengaruhi cara otak memproses bahasa. Saya terkejut saat mengetahui bahwa banyak anak dengan disleksia justru memiliki kecerdasan yang tinggi dan mampu unggul dalam bidang tertentu seperti seni, musik, atau berpikir visual. Namun karena hambatan membaca, mereka sering kali terpinggirkan dalam sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada kemampuan literasi konvensional. Saya juga merefleksikan bahwa sistem pendidikan kita masih belum sepenuhnya ramah terhadap siswa dengan gangguan belajar seperti disleksia. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi saya sebagai calon guru SD, karena saya tidak ingin ada anak yang merasa gagal hanya karena metode belajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Selain itu, saya mulai memahami pentingnya empati dalam menghadapi siswa dengan disleksia. Mereka mungkin membutuhkan waktu lebih lama dalam memahami instruksi tertulis atau mengerjakan tugas membaca, tetapi bukan berarti mereka tidak mampu. Saya merasa bahwa sebagai guru, saya harus lebih fleksibel dan tidak menyamaratakan cara belajar siswa. Dalam diskusi kelas, saya belajar bahwa guru bisa memberikan modifikasi seperti memperbolehkan siswa menjawab secara lisan, menggunakan font yang lebih mudah dibaca, atau memberikan waktu tambahan saat ujian. Saya membayangkan bila saya menjadi guru yang peka terhadap kebutuhan seperti itu, saya bisa menjadi perantara yang membantu anak-anak dengan disleksia mencapai potensi terbaiknya. Pengalaman ini membuat saya semakin yakin bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menyesuaikan diri dengan keberagaman anak didik, bukan memaksa anak untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang kaku.

 

C.REFLEKSI PRIBADI

Pembelajaran tentang disleksia dalam mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memberikan pengalaman yang sangat bermakna bagi saya. Sebelum mempelajari topik ini, saya mengira bahwa gangguan belajar seperti disleksia hanya berkaitan dengan kesulitan membaca biasa. Namun setelah mendalami materi, saya menyadari bahwa disleksia adalah kondisi yang kompleks dan memerlukan pendekatan khusus dalam pembelajaran. Kesadaran ini membuat saya melihat peran guru bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang memahami kebutuhan dan perbedaan tiap peserta didik.

Saya merasa tergugah ketika mengetahui bahwa banyak anak dengan disleksia yang sebenarnya memiliki kecerdasan normal bahkan di atas rata-rata, tetapi sering kali mengalami kegagalan dan kehilangan kepercayaan diri karena tidak mendapatkan dukungan yang sesuai. Refleksi ini membuat saya berpikir ulang tentang cara saya harus memperlakukan siswa di kelas nanti. Saya tidak ingin menjadi guru yang menilai siswa hanya dari angka atau kemampuan membaca cepat, tetapi ingin menjadi guru yang menghargai proses belajar setiap anak dengan segala keunikannya.

Sebagai calon guru, saya sadar bahwa dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan teoritis untuk dapat membantu siswa dengan disleksia. Saya harus memiliki empati, kesabaran, dan kreativitas dalam menyusun metode pembelajaran yang dapat menjangkau semua anak, termasuk mereka yang memiliki hambatan belajar. Refleksi ini juga memotivasi saya untuk terus belajar dan mengembangkan diri, agar kelak saya dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, di mana semua anak merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk berkembang.

Saya merasa bahwa mata kuliah ABK bukan hanya memberi saya pemahaman tentang berbagai jenis kebutuhan khusus, tetapi juga mengubah cara pandang saya terhadap pendidikan secara menyeluruh. Saya belajar bahwa keberagaman bukan hambatan, melainkan kekayaan yang harus disambut dengan hati terbuka. Dengan bekal pemahaman tentang disleksia ini, saya semakin yakin untuk menjadi guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga hadir sebagai pendamping dan penguat bagi setiap anak, termasuk mereka yang mungkin tidak terlihat oleh sistem, tetapi memiliki potensi besar jika diberikan ruang dan kesempatan yang tepat.

 

D.TANTANGAN DAN SOLUSI

Salah satu tantangan utama yang saya temukan dalam memahami dan menangani anak dengan disleksia adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran di kalangan guru, termasuk guru SD. Banyak guru yang belum memahami karakteristik disleksia secara menyeluruh, sehingga cenderung menganggap siswa yang lambat membaca atau menulis sebagai malas atau tidak cerdas. Hal ini diperparah dengan sistem pembelajaran di sekolah dasar yang masih sangat menekankan pada kemampuan literasi standar, tanpa memberikan ruang bagi siswa dengan gaya belajar berbeda. Tantangan ini menciptakan lingkungan belajar yang kurang mendukung bagi anak dengan disleksia, yang pada akhirnya memengaruhi rasa percaya diri dan motivasi mereka.

Selain itu, tantangan lainnya terletak pada keterbatasan fasilitas dan media pembelajaran yang ramah disleksia di sekolah dasar. Banyak sekolah, khususnya di daerah, belum menyediakan alat bantu atau materi ajar yang bisa digunakan untuk membantu siswa dengan gangguan belajar seperti disleksia. Guru pun sering menghadapi keterbatasan waktu dan sumber daya dalam melakukan modifikasi pembelajaran secara individual. Tidak adanya pelatihan khusus bagi guru dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus juga menjadi hambatan serius dalam menciptakan pembelajaran yang inklusif dan efektif.

Sebagai solusi, penting bagi guru untuk aktif meningkatkan kompetensi secara mandiri melalui pelatihan, webinar, atau membaca sumber-sumber terpercaya terkait strategi pembelajaran bagi anak disleksia. Sekolah juga perlu didorong untuk menyediakan media pembelajaran alternatif seperti huruf cetak besar, font ramah disleksia, dan alat bantu visual. Selain itu, guru dapat memanfaatkan pendekatan pembelajaran multisensori dan diferensiasi instruksi di kelas agar semua siswa bisa mengikuti pelajaran dengan optimal. Dukungan dari orang tua dan kolaborasi dengan psikolog atau tenaga ahli juga menjadi solusi penting dalam menangani siswa disleksia secara holistik. Dengan kerja sama yang baik antara guru, orang tua, dan sekolah, tantangan dalam pembelajaran anak disleksia dapat diatasi secara bertahap dan berkelanjutan.

 

E.VISUALISASI/ VIDEO

https://drive.google.com/file/d/1Ka-IViFFmBNY8xlemuPJd7KB6YYqXg_h/view?usp=sharing

 

F.PENUTUP

Melalui mata kuliah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), saya memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai disleksia sebagai salah satu bentuk gangguan belajar yang sering tidak terdeteksi di jenjang sekolah dasar. Saya menyadari bahwa peran guru sangat penting dalam mengidentifikasi, memahami, dan mendampingi anak dengan disleksia agar mereka tetap dapat belajar secara optimal dan merasa dihargai. Ilmu yang saya peroleh dari perkuliahan ini memberikan pandangan baru tentang bagaimana sistem pendidikan seharusnya dibangun atas dasar empati, penerimaan, dan penyesuaian terhadap perbedaan.

Refleksi ini memberikan dampak besar dalam cara pandang saya sebagai calon pendidik. Saya menyadari bahwa setiap anak memiliki cara belajar yang unik, dan tugas guru bukan hanya mengajar secara seragam, tetapi mampu menyesuaikan metode pembelajaran agar inklusif bagi semua siswa, termasuk yang mengalami kesulitan seperti disleksia. Saya ingin menjadi guru yang tidak hanya fokus pada hasil akhir, tetapi juga menghargai proses belajar yang dilalui siswa dengan segala tantangannya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menjangkau setiap anak secara adil dan bermakna.

Sebagai penutup, saya berkomitmen untuk terus mengembangkan diri dan mencari strategi pembelajaran yang tepat untuk mendukung anak dengan disleksia. Saya percaya bahwa pendidikan yang inklusif bukan sekadar wacana, tetapi dapat diwujudkan melalui perubahan cara pandang, sikap, dan praktik mengajar di dalam kelas. Dengan bekal pemahaman dari mata kuliah ABK dan refleksi pribadi ini, saya siap menjadi bagian dari solusi untuk mewujudkan lingkungan belajar yang ramah, adil, dan menghargai keberagaman setiap anak.

 

G. RENCANA TINDAK LANJUT

Sebagai bentuk tindak lanjut, saya bertekad untuk lebih banyak membaca literatur dan mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran bagi anak disleksia. Saya juga ingin membuat media pembelajaran sederhana yang dapat membantu mereka memahami materi dengan lebih baik, seperti penggunaan kartu gambar, peta konsep, dan permainan edukatif.

Ketika kelak saya berada di ruang kelas, saya akan berusaha tidak terburu-buru menilai siswa hanya dari aspek akademik, tetapi melihat proses dan usaha mereka. Saya juga akan membangun suasana kelas yang menghargai perbedaan, di mana semua siswa merasa diterima dan dihargai.

 

Selain itu, saya berencana membuat catatan perkembangan individual untuk setiap siswa, khususnya bagi siswa yang menunjukkan gejala disleksia, agar dapat memberikan perhatian dan intervensi lebih awal.

Sebagai tindak lanjut dari pemahaman yang saya peroleh mengenai disleksia, saya berkomitmen untuk terus memperdalam pengetahuan saya melalui berbagai sumber seperti buku, jurnal ilmiah, pelatihan, serta webinar yang membahas strategi pembelajaran untuk anak dengan gangguan belajar. Saya menyadari bahwa pengetahuan teoritis saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi dengan keterampilan praktis di lapangan. Oleh karena itu, saya berencana untuk aktif mencari kesempatan praktik mengajar atau observasi langsung di sekolah inklusif yang memiliki siswa dengan disleksia. Dengan cara ini, saya dapat melihat langsung bagaimana guru berinteraksi, memberikan instruksi, serta membuat penyesuaian pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, saya ingin mulai belajar membuat media pembelajaran visual dan multisensori yang sederhana namun efektif, agar bisa langsung saya gunakan saat praktik mengajar nanti.

Saya juga bertekad untuk mengembangkan sikap profesional dan empati yang tinggi terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, termasuk anak disleksia. Dalam kegiatan belajar mengajar, saya akan berusaha untuk tidak hanya fokus pada hasil akademik, tetapi juga memperhatikan proses dan perkembangan setiap anak secara individual. Saya ingin membangun komunikasi yang baik dengan orang tua dan sesama guru untuk saling berbagi informasi dan strategi terbaik dalam menangani anak dengan disleksia. Jika memungkinkan, saya akan mengusulkan program pembinaan atau diskusi kelompok kecil di sekolah dasar tempat saya mengajar kelak, sebagai wadah berbagi pengalaman dan meningkatkan pemahaman guru-guru lain tentang gangguan belajar. Saya percaya bahwa dengan langkah-langkah kecil namun konsisten, saya dapat menjadi bagian dari perubahan positif dalam menciptakan sistem pendidikan dasar yang inklusif dan menghargai keberagaman kemampuan belajar setiap anak.

 

H.DAFTAR PUSTAKA

Shaywitz, S. E. (2020). Overcoming Dyslexia (2nd ed.). New York: Vintage Books.

Nugroho, T. A. (2021). Strategi Pembelajaran Bagi Anak Disleksia di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Inklusif, 9(2), 34–45.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. (2019). Panduan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Rief, S. F., & Heimburge, J. A. (2014). How to Reach and Teach Children with ADD/ADHD: Practical Techniques, Strategies, and Interventions. Jossey-Bass.

Pambudi, A., & Nuraini, L. (2020). Upaya Guru dalam Menangani Siswa Disleksia di Sekolah Dasar Inklusif. Jurnal Pendidikan Khusus, 16(1), 22–30.

Lyon, G. R., Shaywitz, S. E., & Shaywitz, B. A. (2003). A Definition of Dyslexia. Annals of Dyslexia, 53, 1–14.

Susanto, A., & Meilani, R. (2018). Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar: Konsep dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  JOURNAL REFLEKSI DISELEKSIA     Dosen pengampu:Itsnain Alfajri Husein S.Pd,M.Pd Di susun oleh:                Ni nyoman sutri armini   (20...