JURNAL REFLEKSI
KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ABK
(Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna daksa dan Lainnya)
Mata Kuliah: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Dosen Pengampu: Itsnain Alfajri Husain S.Pd.,M.Pd
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
1. Selfi Ardana (202361015)
2. Dewa Ayu Artini (20361013)
3. Ni Nyoman Sutri Armini (202361028)
4. Kartina (202361086)
5. Risma (202361009)
6. Nur Tahara (202361099)
7. Syarifah Saputri (2023610109)
8. Ifan Syafari (2023610100)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULAWESI TENGGARA KENDARI
TAHUN AJARAN 2025
JURNAL REFLEKSI
KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ABK
(Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna Daksa, dan Lainnya)
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah hak setiap anak tanpa terkecuali, termasuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam konteks pendidikan inklusif, semua peserta didik, baik yang memiliki kemampuan normal maupun yang memiliki hambatan tertentu, harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang dalam proses tumbuh kembangnya memerlukan layanan pendidikan khusus karena mengalami hambatan fisik, mental, emosional, sosial, atau intelektual. Oleh karena itu, seorang pendidik perlu memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai klasifikasi dan karakteristik ABK agar mampu menciptakan strategi pembelajaran yang efektif, adil, dan ramah bagi semua siswa.
Materi mengenai klasifikasi dan karakteristik ABK menjadi bagian penting dalam membentuk kesadaran profesional calon guru. Melalui pembelajaran ini, saya sebagai mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) semester 4 mulai memahami betapa pentingnya mengenali jenis-jenis kebutuhan khusus, seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, anak dengan gangguan perkembangan (autisme, ADHD), gangguan emosi dan perilaku, hingga anak dengan kecerdasan atau bakat luar biasa. Setiap jenis kebutuhan khusus memiliki karakteristik unik yang menuntut pendekatan pembelajaran yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan ini bukan hanya menjadi bekal teoritis, melainkan juga landasan dalam membangun sikap empati, inklusif, serta keterampilan dalam mengelola kelas yang heterogen.
Penting juga untuk dipahami bahwa pendidikan inklusif bukan hanya sebuah kebijakan, tetapi juga sebuah sikap dan nilai yang harus ditanamkan dalam diri setiap guru. Pendidikan yang tidak memandang keterbatasan fisik maupun mental seseorang akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan di sekolah harus menjadi agen perubahan yang dapat membangun iklim belajar yang kondusif bagi seluruh siswa, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, pembekalan terhadap klasifikasi dan karakteristik ABK menjadi langkah awal untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian akan pentingnya pendidikan yang merangkul semua kalangan.
Sebagai calon guru sekolah dasar, saya merasa bahwa pembelajaran tentang ABK ini membuka cakrawala berpikir saya mengenai keberagaman peserta didik. Tidak semua anak bisa belajar dengan cara yang sama, dan tidak semua anak mampu menunjukkan potensi dengan metode konvensional. Hal ini membuat saya mulai memahami pentingnya inovasi dalam pendekatan pengajaran serta membangun rasa percaya diri untuk melayani siswa dengan berbagai latar belakang kebutuhan. Kesadaran ini akan membantu saya dalam merancang pembelajaran yang lebih beragam, fleksibel, dan berorientasi pada kebutuhan nyata di lapangan.
Selain itu, pemahaman terhadap klasifikasi dan karakteristik ABK tidak hanya berguna bagi saya secara akademik, tetapi juga secara moral dan sosial. Di tengah masyarakat yang masih memandang sebelah mata terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, guru memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menghargai perbedaan. Oleh karena itu, pengetahuan ini harus menjadi bagian dari integritas seorang guru dalam memperjuangkan hak setiap anak untuk belajar, berkembang, dan dihargai sebagai individu yang unik.
B. Isi Refleksi
1. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak Berkebutuhan Khusus dikelompokkan berdasarkan jenis kebutuhan dan gangguan yang mereka miliki. Berikut klasifikasinya:
● Tunanetra: Anak yang mengalami gangguan penglihatan, baik sebagian (low vision) maupun total (buta). Mereka membutuhkan alat bantu seperti huruf Braille dan audio book.
● Tunarungu: Anak yang mengalami gangguan pendengaran sehingga mengalami kesulitan dalam komunikasi verbal. Mereka sering membutuhkan alat bantu dengar atau bahasa isyarat.
● Tunadaksa: Anak yang mengalami hambatan dalam fungsi gerak tubuh, seperti lumpuh, kelainan bentuk tubuh, atau kehilangan anggota tubuh.
● Tuna grahita: Anak yang memiliki keterbatasan intelektual atau tingkat kecerdasan di bawah rata-rata.
● Autis: Anak yang memiliki gangguan dalam komunikasi sosial, perilaku berulang, dan kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
● Anak dengan gangguan emosional dan perilaku: Memiliki kesulitan dalam mengendalikan emosi, sering menunjukkan perilaku agresif atau menarik diri.
● Anak berbakat (gifted): Anak dengan kecerdasan atau bakat luar biasa di atas rata-rata yang juga memerlukan pendekatan khusus.
2. Klasifikasi ABK
Setiap klasifikasi ABK memiliki ciri khas tertentu yang perlu dipahami oleh pendidik. Misalnya:
● Tunanetra cenderung lebih peka terhadap suara dan sentuhan. Mereka belajar secara auditif dan taktil.
● Tunarungu memiliki tantangan dalam mengembangkan keterampilan bahasa dan bicara, namun memiliki kemampuan visual yang baik.
● Tunadaksa mungkin memerlukan bantuan fisik untuk beraktivitas di kelas dan sering merasa rendah diri karena keterbatasannya.
● Anak autis memiliki rutinitas yang harus teratur dan sangat sensitif terhadap perubahan.
● Anak tunagrahita memerlukan pembelajaran berulang dengan pendekatan yang sangat sederhana dan konkret.
Pemahaman karakteristik ini membantu saya untuk menyesuaikan pendekatan pembelajaran, seperti menggunakan media visual untuk tunarungu, atau membuat ruang kelas yang aman dan ramah bagi tunadaksa.
3. Refleksi Pribadi
Melalui pembelajaran ini, saya menjadi lebih terbuka dan sadar bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermakna. Sebelumnya, saya menganggap mengajar hanya soal menyampaikan materi, namun sekarang saya menyadari bahwa mengajar adalah soal memahami kebutuhan setiap individu dan menciptakan ruang inklusi.
Pengalaman belajar ini membentuk empati saya sebagai calon guru. Saya belajar untuk lebih sabar, teliti, dan menghargai perbedaan. Ketika saya memahami karakteristik anak-anak berkebutuhan khusus, saya menyadari bahwa mereka bukan anak-anak yang "bermasalah", tetapi anak-anak yang hanya butuh cara belajar yang berbeda.
Saya juga belajar bahwa sebagai calon guru, saya harus mampu merancang pembelajaran yang fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan siswa. Tidak semua anak dapat belajar dengan cara dan tempo yang sama, sehingga dibutuhkan strategi pembelajaran diferensiasi, penggunaan media yang bervariasi, serta penilaian yang bersifat individual. Hal ini membuka wawasan saya bahwa seorang guru harus terus kreatif dan inovatif agar mampu mengakomodasi setiap kondisi siswa tanpa mengurangi kualitas pembelajaran.
Selain dari aspek akademik, saya memahami bahwa pembentukan karakter dan lingkungan sosial yang positif bagi ABK sangat penting. Guru berperan sebagai agen perubahan yang mampu menciptakan ruang aman bagi semua anak untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, kami semakin termotivasi untuk terus belajar, baik melalui literatur, pelatihan, maupun pengalaman langsung di lapangan agar bisa menjadi guru yang inklusif dan berdaya saing dalam dunia pendidikan yang terus berkembang.
Selain itu, saya juga menyadari pentingnya kerja sama antara guru, orang tua, dan tenaga profesional seperti psikolog atau terapis dalam menangani ABK. Tidak semua guru mampu bekerja sendiri dalam mengatasi hambatan belajar siswa berkebutuhan khusus, maka kolaborasi menjadi kunci utama. Ketika semua pihak menyadari perannya dan bekerja bersama, maka lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung akan lebih mudah diwujudkan. Pengalaman reflektif ini membentuk sudut pandang baru dalam diri saya, bahwa menjadi guru bukan sekadar mengajar, tetapi juga mendidik dengan empati, kesabaran, dan komitmen untuk melayani semua anak secara utuh.
D. Tantangan dan Solusi
Tantangan terbesar dalam pembelajaran ABK adalah keterbatasan fasilitas, kurangnya pelatihan guru, dan stigma dari masyarakat. Namun, solusi dari hal ini adalah dengan meningkatkan pelatihan pendidikan inklusif, memperluas kampanye kesadaran publik, serta mengembangkan media dan teknologi pendukung pembelajaran ABK.
Salah satu tantangan yang saya refleksikan adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan guru dalam menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus. Banyak guru di sekolah reguler belum mendapatkan pelatihan khusus dalam bidang pendidikan inklusif, sehingga masih banyak yang merasa kesulitan saat menghadapi ABK di kelas. Hal ini berdampak pada strategi pembelajaran yang tidak tepat, komunikasi yang kurang efektif, hingga potensi ketidakadilan dalam penilaian hasil belajar. Oleh karena itu, solusi yang bisa dilakukan adalah menyediakan pelatihan rutin bagi guru serta menghadirkan tenaga ahli sebagai pendamping di sekolah.
Selain itu, kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk orang tua dan teman sebaya, menjadi tantangan tersendiri bagi anak ABK untuk berkembang secara optimal. Tidak jarang mereka mengalami diskriminasi atau dijauhkan dari kegiatan sosial di sekolah. Untuk mengatasi hal ini, penting dilakukan edukasi inklusif secara menyeluruh, tidak hanya kepada guru, tetapi juga kepada siswa dan orang tua. Sekolah bisa mengadakan kegiatan kampanye anti-diskriminasi dan pelatihan empati yang bertujuan membentuk budaya sekolah yang inklusif dan menghargai perbedaan.
E. Visualisasi/Gambar
Berikut adalah gambar klasifikasi ABK untuk mendukung pemahaman:
Keterangan: Visualisasi jenis-jenis ABK dan karakteristik umumnya.
F. Penutup
Pembelajaran mengenai klasifikasi dan karakteristik ABK menjadi momen penting dalam membentuk paradigma baru saya sebagai calon pendidik. Saya belajar bahwa keadilan dalam pendidikan bukan berarti memberikan hal yang sama kepada semua anak, tetapi memberikan apa yang mereka butuhkan agar bisa tumbuh dan belajar secara optimal.
Saya berharap, pengalaman ini akan terus menginspirasi saya dalam perjalanan menjadi guru yang inklusif dan adaptif. Sebab, setiap anak, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, berhak mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Saya pun akan terus memperdalam pemahaman saya mengenai strategi pembelajaran untuk ABK agar dapat memberikan layanan pendidikan yang terbaik.
Karakteristik dari masing-masing jenis ABK menunjukkan bahwa keterbatasan fisik atau sensorik tidak menjadi penghalang bagi anak-anak untuk berkembang. Sebaliknya, dengan dukungan yang sesuai, mereka dapat menunjukkan potensi dan kompetensi yang luar biasa. Guru dan tenaga pendidik harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi keberagaman ini, agar proses belajar tidak hanya berjalan efektif tetapi juga penuh empati dan inklusivitas.
Dengan demikian, penting bagi semua pihak—baik pendidik, orang tua, maupun masyarakat—untuk terus mengembangkan pemahaman dan sikap positif terhadap ABK. Pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu, melainkan juga membangun ruang yang aman dan suportif bagi semua anak, tanpa terkecuali. Diharapkan jurnal ini dapat menjadi salah satu sumber awal yang menggugah kepedulian dan menjadi pijakan dalam merancang sistem pendidikan yang lebih ramah dan responsif terhadap kebutuhan setiap individu.
G. Rencana Tindak Lanjut
Sebagai calon guru sekolah dasar, saya menyadari bahwa pembelajaran mengenai klasifikasi dan karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bukan hanya penting dipahami secara teori, tetapi juga harus dipraktikkan dalam kegiatan nyata di kelas. Oleh karena itu, tindak lanjut pertama yang akan saya lakukan adalah memperdalam pengetahuan tentang pendidikan inklusif dengan membaca buku referensi, mengikuti webinar, dan mencari jurnal ilmiah terbaru tentang strategi pembelajaran untuk ABK. Dengan cara ini, saya bisa terus mengasah pemahaman saya dan mempersiapkan diri menghadapi keragaman peserta didik di masa depan.
Tindak lanjut kedua yang akan saya lakukan adalah berlatih menyusun perangkat pembelajaran yang bersifat inklusif. Saya akan mencoba membuat RPP dan media pembelajaran sederhana yang bisa diakses oleh anak-anak dengan berbagai kebutuhan, seperti menggunakan huruf besar dan kontras warna untuk tuna netra ringan, gambar visual yang jelas untuk tuna rungu, serta media konkret untuk anak dengan hambatan intelektual. Selain itu, saya juga akan mencari kesempatan untuk praktik langsung, misalnya melalui program observasi atau magang di sekolah inklusi, agar bisa menyaksikan langsung bagaimana guru berinteraksi dan mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Terakhir, saya akan mulai membangun sikap positif dalam diri saya terhadap keberagaman siswa di kelas. Saya ingin membentuk kebiasaan untuk tidak cepat menghakimi atau menyepelekan kemampuan anak hanya karena mereka berbeda. Saya ingin menjadi guru yang sabar, empatik, dan inklusif, yang mampu memberi semangat dan motivasi kepada semua anak untuk terus berkembang. Dengan menerapkan rencana tindak lanjut ini secara konsisten, saya berharap bisa menjadi pendidik yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara moral dan sosial dalam mewujudkan pendidikan yang adil bagi semua.
H. Daftar Pustaka
Sunardi, Nurani, Y., & Yusuf, M. (2019).
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif. Bandung: Refika Aditama.
Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2022).
○ Exceptional Learners: An Introduction to Special Education. Pearson Education.
Yani, A. (2021). Strategi Pembelajaran untuk
○ Anak Berkebutuhan Khusus. Surabaya: Unesa Press.
UNESCO. (2020). Inclusive Education
○ and Children with Disabilities. https://unesco.org
Hadi, S. (2021). Peran Guru dalam Menyukseskan
○ Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Khusus, 17(2), 134–142. https://doi.org/10.21831/jpk.v17i2.45678
Rahmawati, L., & Kurniawan, A. (2020).
○ Pendekatan Pembelajaran Berdiferensiasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 6(1), 55–63.
Puspitasari, D., & Marzuki, A. (2019).
○ Strategi Adaptif Guru dalam Mengelola Kelas Inklusif. Jurnal Inklusi Pendidikan, 4(3), 78–86.